Jumat, 20 Mei 2011

Dewi Yanti Kosasih,mantan pesilat putri Jawa Barat.

UNTUK ukuran atlet, tubuh Dewi terbilang mungil. Tingginya hanya 154 cm. Jika berhadapan dengan lawan yang bertubuh tinggi besar, tendangan yang masuk ke tubuhnya sangat berarti. Patah tulang di sekujur tubuhnya tak pernah menjadi alasan Dewi menghentikan langkah. Jika sekadar jempol patah atau kaki bonyok, Dewi pantang berhenti bertarung. Kalaupun berhenti biasanya karena pertandingan dihentikan wasit .

Biar lawan jauh lebih besar, badan sakit-sakit kena tendang, masa bodoh! Saya harus menang. Pulang harus bawa medali, Begitu selalu tekad Dewi Yanti Kosasih (40), mantan pesilat putri Jawa Barat.

Pada masa jayanya, ia sering mengharumkan dunia persilatan Jawa Barat hingga ke tingkat dunia. Medali yang pernah dibawanya pulang antara lain dari Kejuaraan Dunia Kuala lumpur 1989, Kejuaraan Dunia Belanda 1991, SEA Games Singapura 1993, dan Thailand Open 1992. Belum masuk hitungan puluhan medali yang disambarnya di arena PON (Pekan Olahraga Nasional) atau Porda (Pekan Olahraga Daerah).

Dia tuh memang obsesif. Kalau belum dapet sesuai target, belum berhenti, tambah suaminya, Dani Wisnu (42), juga pesilat tingkat dunia yang kini menjadi pelatih di pelatnas sebagai persiapan Indonesia Bangkit 2005

Perempuan tomboy yang suka berbicara ceplas-ceplos ini mengaku karena obsesifnya mengejar target itulah ia bisa menjadi pesilat tangguh. Saya baru mengenal silat ketika usia 20 tahun. Sayalah yang tertua di antara teman-teman seangkatan di Perguruan Tajimalela. Tetapi saya bertekad, harus bisa menjadi juara seperti senior-senior saya, ceritanya.

Tak ada kata terlambat bagi Dewi. Pada usia 21 tahun, saat teman-teman sebayanya sudah merasakan pertarungan yang sesungguhnya di berbagai even, Dewi baru menapakkan kakinya.

Keinginannya berprestasi terpengaruh dari kegemarannya membaca buku biografi orang-orang terkenal. Semula ia sendiri tak tahu harus berprestasi di bidang apa. Sampai suatu ketika Dewi yang juga aktivis masjid di dekat rumah orang tuanya dahulu, wilayah Sekelimus Bandung, berjalan melintasi perguruan silat Tajimalela. Tak banyak berpikir, Dewi menghentikan langkahnya dan langsung mendaftarkan diri. Semula ayahnya, Achmad Kosasih, mantan penjaga gawang Persib menentang keinginan putrinya masuk perguruan silat.

Ayah takut, saya terbawa pergaulan tidak benar. Beliau bilang itu sih tempatnya ‘jawara wungkul’. Masa itu silat memang identik dengan kalangan masyarakat bawah, ujar Dewi.

Tetapi Dewi tidak terseret arus. Seiring berjalannya waktu silat bahkan membuktikan bisa mengharumkan Indonesia di mata dunia. Dewi pun bertekad ambisi dan obsesinya tidak boleh sebatas benak alias hanya angan-angan. Semua harus diiringi tindakan nyata. Saat pertama masuk perguruan silat Tajimalela, ia langsung menetapkan target demi target. Mula-mula saya incar seorang pesilat putri, saya harus menang melawan dia. Begitulah seterusnya. Setiap saya mengincar seorang calon lawan, saya selalu memiliki target untuk menang. Untuk dapat menang saya tidak dapat bersantai-santai. Saya latihan lebih keras dari yang lainnya, ceritanya.

Jika pesilat lainnya berlatih hanya seminggu 2 atau 3 kali, Dewi mendisiplinkan dirinya untuk berlatih setiap hari! Paling siang saya pulang ke rumah jam 8 malam, seringnya jam 11 malam, imbuhnya. Ia tidak hanya berkutat di unit latihan (unlat)-nya sendiri. Ia juga rajin jalan-jalan dan mencoba berbagai unlat-unlat lainnya.

Selain itu ia juga mendapat genjotan fisik dari ayahnya. Setelah tahu saya tak main-main di dunia silat, ayah saya mendukung bahkan melatih fisik saya.

Kendati telah mempersiapkan diri sebaik mungkin, jalan tak selalu mulus di hadapannya. Dewi baru bisa tembus mewakili Indonesia ke arena SEA Games pada tahun 1993 setelah sebelumnya tiga kali gagal menembus arena bergengsi ini. Untuk berbagai prestasinya Dewi dianugerahi Presiden Soeharto penghargaan berupa Parama Krida Pratama, penghargaan pemerintahan bagi warga negara berprestasi.

Sayang, masa keemasan bangsa Indonesia di dunia silat saat ini mulai suram. Ketika Dewi dan Dani masih malang melintang di dunia silat, dunia persilatan Indonesia dengan kokoh bertengger di puncak kejayaannya. Indonesia selalu nomor satu. Kini posisi Indonesia menjadi yang ketiga setelah Vietnam dan Malaysia.

Menurut Dewi dan Dani, kemerosotan prestasi ini lebih kepada soal mentalitas anak bangsa. Saat ini Dani mengaku sulit menemukan bibit pesilat yang berkarakter.

Gaya hidup remaja sekarang juga sangat berpengaruh pada prestasi silat kita. Anak-anak sekarang kalau disuruh berlatih silat, ya hanya sesuai jadwal pengurus saja. Di luar itu mereka tak mau mencari tambahan, tambah Dewi.

Diakui Dewi, saat masih menjadi atlet ia juga merasakan masa-masa manisnya remaja berpacaran. Saya pacaran dengan Dani, dan banyak lagi pesilat pacaran dengan pesilat. Tetapi itu tak memengaruhi prestasi kami. Saatnya serius, kami serius, cerita Dewi.

Mungkin soal fasilitas juga ada pengaruhnya. Dibandingkan Vietnam yang kini membina 50.000 atlet silat secara serius dengan dana yang luar biasa, kita Indonesia sulit menandinginya. Jelas Dani yang juga pengurus Pengda IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) Jawa Barat.

Soal fasilitas, menurut Dewi, jauh lebih baik pesilat sekarang. Dulu kami prihatin sekali. Sampai-sampai mau bertanding saja kita hanya mampu makan kangkung dan ikan asin. Padahal sebagai atlet kita memerlukan nutrisi yang baik, kenang Dewi.

Sebagai cabang olah raga yang berakar asli Indonesia, silat memang tak mungkin menunggu uluran tangan negara induk olah raga, seperti Taekwondo yang di-support oleh Korea atau Karate dan Kendo oleh negara asalnya Jepang.

Tetapi cabang silat kini juga lumayan terbantu dengan masuknya Pak Rachmat Gobel dari Panasonic sebagai salah seorang pengurus IPSI. Saya berharap pemerintah juga mau bahu- membahu memajukan kembali olah raga ini, harap Dani.

**

SECARA pribadi, silat juga sudah membuahkan hasil yang manis bagi keluarga pesilat ini. Yang jelas, dapet jodoh juga dari silat he..he..he, kata Dewi.

Dani adalah seniornya di Tajimalela. Dia itu dulu uwak guru. Yang jadi guru saya sebenarnya adiknya Kang Dani, kenang Dewi.

Baik Dani dan Dewi memperoleh pekerjaannya di pemerintahan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung ini karena prestasi mereka juga. Anak sulung mereka, Ahmad Yusuf Ferdian, menjadi mahasiswa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Jurusan Pelatihan karena prestasinya di dunia silat juga. Pada Porda 2003 di Indramayu, Yusuf berhasil menggaet medali perak untuk Kabupaten Bandung. Lucunya, saat itu Yusuf harus bersaing dengan ibunya yang mewakili Kota Bandung dalam memperebutkan medali bagi perwakilan kota masing-masing. Saat itu Dewi masih mampu menggaet medali emas.

Karena sama-sama pesilat, pasangan ini selalu nyambung. Untuk bertanding membela negara, kita juga sering pergi bareng ke luar negeri. Tapi penginapan sih masing-masing sesuai aturan untuk atlet putra dan putri lo, kata Dewi.

Walaupun tahun ini ia mulai pensiun sebagai atlet, bukan berarti Dewi meninggalkan dunia yang telah dikecap asam manisnya ini. Di rumahnya yang berhalaman luas, ia mendirikan unlat silat untuk regenerasi pesilat-pesilat Indonesia. Tercatat 30 anak dan remaja di bawah bimbingannya, termasuk anak bungsunya Hanifan Yudani Kusumah , yang baru duduk di bangku kelas 1 SD.

Kami tak pernah menyuruh anak untuk mengikuti jejak saya dan ayahnya. Mungkin karena lingkungannya silat semua, ia jadi sangat tertarik, kata Dewi

Sebagai balas budi pada dunia yang telah membesarkannya, Dewi berobsesi ingin menjadi pelatih silat yang bagus. Namun kesempatan itu belum ada, katanya. Maksudnya, kesempatan melatih dalam skala lebih besar selain di unlat.***

Uci Anwar
www.pikiran-rakyat.com

www.silatindonesia.com

Tidak ada komentar: